
Masa remaja bukan hanya ditandai oleh perubahan fisik, tetapi juga oleh dinamika emosional yang kompleks dan sering kali membingungkan. Tak jarang, orang tua merasa kewalahan menghadapi emosi anak yang fluktuatif, mudah tersinggung, atau cenderung meledak-ledak tanpa alasan yang jelas. Namun, di balik perilaku tersebut, terdapat proses perkembangan emosional yang sangat penting dalam membentuk identitas dan kematangan jiwa seorang remaja.
Perubahan hormon yang terjadi selama masa pubertas berperan besar dalam mempengaruhi emosi remaja. Produksi hormon seperti estrogen dan testosteron meningkat secara drastis dan memicu perubahan suasana hati yang cepat. Selain itu, perkembangan otak khususnya bagian prefrontal cortex yang mengatur logika, perencanaan, dan pengendalian diri masih dalam proses pematangan. Hal ini membuat remaja lebih banyak mengandalkan sistem limbik (pusat emosi) dalam merespons situasi.
Kondisi ini membuat emosi remaja menjadi lebih intens dan terkadang tampak berlebihan. Mereka bisa merasa sangat gembira dalam satu waktu, lalu tiba-tiba marah, sedih, atau kecewa beberapa menit kemudian.
Langkah pertama yang penting dilakukan orang tua adalah berusaha memahami, bukan langsung menilai. Ketika anak menunjukkan sikap yang emosional, alih-alih menyuruhnya “jangan lebay” atau “jangan cengeng”, cobalah untuk mengenali penyebab emosinya. Mungkin mereka merasa kecewa karena gagal dalam sesuatu, merasa tertekan oleh ekspektasi teman sebaya, atau sedang berjuang memahami jati dirinya.
Dengan mengedepankan empati, orang tua dapat menjadi tempat aman bagi remaja untuk mengekspresikan emosinya tanpa takut dihakimi.
Remaja membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosi mereka secara sehat. Orang tua dapat membantu dengan:
- Mengajak berdiskusi tanpa memaksa
- Memberi waktu ketika anak ingin menyendiri
- Tidak langsung bereaksi keras terhadap ledakan emosi
- Menanyakan dengan lembut apa yang sedang dirasakan
Tindakan-tindakan kecil ini menunjukkan bahwa emosi anak diakui dan dihargai.
Selain memahami, orang tua juga berperan dalam membantu anak mengelola emosinya. Salah satu cara yang efektif adalah dengan mengajak anak menyadari dan memberi nama pada perasaannya: “Apakah kamu merasa marah, kecewa, atau sedih?” Kemampuan ini disebut emotional labeling, dan terbukti dapat membantu seseorang mengendalikan reaksi impulsifnya.
Selanjutnya, ajarkan cara-cara mengatur emosi, seperti menarik napas dalam, menulis jurnal, melakukan aktivitas fisik, atau berbicara dengan orang terpercaya.
Remaja sangat peka terhadap perilaku orang tuanya. Jika orang tua terbiasa merespons masalah dengan amarah atau emosi yang meledak-ledak, anak pun akan menirunya. Sebaliknya, jika orang tua mampu menunjukkan cara menyikapi tekanan dengan tenang, terbuka, dan sehat, hal itu akan menjadi pembelajaran emosional yang berharga.
Perkembangan emosi pada masa remaja adalah bagian wajar dari proses menuju kedewasaan. Tantangannya memang tidak ringan, tetapi dengan pemahaman, empati, dan dukungan yang konsisten dari orang tua, remaja dapat belajar mengenali, memahami, dan mengelola emosinya dengan lebih baik. Dalam perjalanan ini, orang tua tidak harus menjadi sosok yang selalu punya jawaban, tetapi cukup menjadi pendengar yang hadir dan bisa dipercaya.
