Bayangkan seorang remaja yang bangun tidur, hal pertama yang ia lakukan bukan merapikan tempat tidur, melainkan meraih ponselnya. Notifikasi media sosial, pesan dari teman, dan video singkat yang terus bermunculan membuat matanya langsung terbuka lebar. Dunia seakan berpindah ke layar kecil itu tempat hiburan, pertemanan, bahkan pembelajaran bercampur menjadi satu.
Era digital memang membawa kemudahan luar biasa. Informasi bisa ditemukan dalam hitungan detik, percakapan dengan teman di belahan dunia lain bisa terjadi kapan saja, dan peluang belajar terbuka lebar. Tapi di balik semua itu, ada tantangan besar yang diam-diam menguji remaja setiap hari.
Media sosial, misalnya, sering jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi ruang ekspresi dan kreativitas. Namun, disisi lain, ia juga bisa membuat remaja merasa tak pernah cukup. Foto teman yang selalu tampak bahagia, pencapaian orang lain yang terlihat sempurna, atau komentar-komentar pedas bisa melukai rasa percaya diri. Tanpa disadari, banyak remaja merasa harus tampil “sempurna” demi mendapat pengakuan, meski di balik layar mereka merasa lelah dan tertekan.
Belum lagi arus informasi yang datang tanpa henti. Di internet, siapa pun bisa berbicara, menyebarkan berita, bahkan opini yang belum tentu benar. Bagi remaja yang masih belajar memilah, hal ini bisa jadi jebakan. Hoax, berita palsu, atau sudut pandang yang biasa mudah dipercaya begitu saja. Akibatnya, keputusan yang diambil pun kadang tidak berdasarkan kebenaran, melainkan sekedar ikut-ikutan.
Ada pula tantangan yang tak kalah besar: ketergantungan pada teknologi. Gawai yang seharusnya membantu belajar, seringkali justru mengalihkan fokus. Sekali membuka aplikasi game atau media sosial, waktu belajar bisa terbuang berjam-jam. Aktivitas fisik berkurang, mata lelah, bahkan tidur pun jadi terganggu karena kebiasaan menatap layar hingga larut malam.
Di tengah semua itu, remaja juga dihadapkan pada tekanan akademik dan sosial. Tugas sekolah yang menumpuk, ujian yang menegangkan, serta ekspektasi dari orang tua dan lingkungan seringkali menambah rasa cemas. Kehidupan online yang serba cepat membuat beban itu terasa semakin berat, seolah tak ada ruang untuk berhenti sejenak dan bernapas lega.
Namun, bukan berarti semua ini tak bisa dihadapi. Justru di balik tantangan digital, ada peluang besar untuk tumbuh. Remaja bisa belajar mengembangkan literasi digital kemampuan untuk memilah mana informasi yang benar dan mana yang menyesatkan. Mereka juga bisa melatih kontrol diri, belajar kapan harus berhenti bermain media sosial dan kembali pada prioritas yang lebih penting.
Yang tak kalah penting, karakter perlu dibangun bersamaan dengan keterampilan digital. Empati, etika, dan rasa tanggung jawab di dunia maya adalah pondasi agar teknologi benar-benar bermanfaat. Sebab, di era digital ini, pintar saja tidak cukup; bijaklah yang membuat seseorang mampu bertahan.
Akhirnya, tantangan remaja di era digital adalah tentang bagaimana mereka menavigasi dunia yang serba cepat ini tanpa kehilangan jati diri. Dengan bimbingan yang tepat dari keluarga, guru, dan lingkungan, remaja bisa menjadikan teknologi sebagai alat untuk berkembang, bukan beban yang menjerat.
