Melihat literatur, banyak ilmuan dan psikolog terkemuka, dulu dan sekarang, mengenali faktor non-intelektual dalam kinerja pembelajaran, dan banyak siswa yang terjebak dalam kesalahan adab menuntut ilmu. Fasilitas dan teknologi memang dinilai mempermudah proses menuntut ilmu, saat era digital dan media internet membuat ilmu menjadi berkelimpahan untuk diakses, namun minimnya kesadaran membangun mental pada siswa untuk tahan dalam proses menuntut ilmu itu sering terlihat jelas saat in, padahal Adab yang baik saat menuntut ilmu akan menjadi hal yang memperkuat siswa dan hal menantang bagi sebagian orang tua, maka mendampingi dan menemani proses menuntut ilmu pada anak adalah sebuah proses pengasuhan yang sangat baik karena membangun kedekatan dan memperkuat hubungan kultural.
“Siapa dia yang tidak pernah mencicipi pahit getirnya mencari ilmu, maka ia akan merasakan hinanya kebodohan selama hidupnya.”
~Imam Syafi’i~
Untuk meningkatkan pengetahuannya tentang bahasa Arab, ia pergi jauh ke padang pasir untuk bergabung dengan suku Badui Huthail, yang terkenal dengan standar terbaik untuk sastra Arab. Dia mempelajari puisi dan mempelajari laporan dan cerita prosa mereka. Pada usia 20 tahun ia telah menyelesaikan semua yang harus diajarkan oleh para ulama, tetapi kehausan akan pengetahuan ini tidak hilang. Jadi, dia pergi ke Madinah untuk belajar dari Imam Malik. dst….
Menjunjung tinggi kadar sebuah ilmu adalah mindset dasar yang perlu diajarkan orang tua pada anak, dimana anak akan memahami bahwa mencari ilmu itu bukan dengan cara di sodorkan dihadapan seperti proses makannya seorang bayi, namun perlu melakukan perjalanan dan merasakan proses perjuangan daat menuntut ilmu yang bisa melelahkan kepala akan menjadi proses keratif belajar pada anak , bahkan di lain kesempatan Imam Syafii berkata “Jika Kamu tidak dapat menahan lelahnya belajar, Maka kamu harus sanggup menahan perihnya Kebodohan.”